Habis gelap, terbitlah terang
Pagi itu, 18 Agustus tahun 2000, saya terbangun dari tidur. Sejenak saya memandangi sekeliling kamar, dan menyadari ada sesuatu yang berbeda pada diri saya. Bukan karena kokok ayam di halaman samping asrama, bukan pula karena kicauan burung dari atas dahan pohon sawo di depan asrama, ataupun karena sinar mentari yang masuk menerobos jendela kamar pagi itu! Melainkan saya merasakan sesuatu yang baru yang sungguh-sungguh belum pernah saya rasakan sebelumnya. Karena malam sebelumnya, 17 Agustus, sekitar jam 21.00, saya sungguh-sungguh baru mengerti akan arti sebenarnya dilahirkan kembali. Sejak saat itu, saya menjadi seorang murid Kristus sejati bukan lagi milik kegelapan. Saya benar-benar mengerti dan mengambil keputusan untuk mengimani bahwa Kristus adalah satu-satunya Juruselamat saya, yang telah mati menggantikan saya, menebus seluruh dosa saya, dosa-dosa saya sejak saya dilahirkan ke dunia ini, sampai dosa-dosa saya yang mungkin akan saya lakukan sampai saya mati nanti. Dan pagi ini, alampun seakan-akan turut menyambut sukacita hati saya.
Kini saya telah diselamatkan! Seperti Raden Ajeng Kartini pernah menulis, “Habis gelap, terbitlah terang.” Seperti itulah kira-kira situasi hati saya pagi itu.
Bersinar seperti mentari
Pengikut Kristus sejati bukanlah orang yang hanya menyebut dirinya Kristen, melainkan dirinya harus mengerti dengan sungguh-sungguh hakekat kekristenan itu sendiri. Memeluk agama Kristen bukanlah bukti sesungguhnya seseorang adalah milik Kristus, melainkan pertobatan dan keputusan untuk percaya kepada Kristuslah yang membawa seseorang kepada posisi seorang Kristen sejati. Tentu ketika seseorang berada di posisi orang Kristen sejati, dia akan memiliki ciri-ciri lahiriah yang bisa dilihat oleh orang lain
Saya membaca sebuah buku yang berjudul, “Belajar pada matahari.” Ada banyak hal yang bisa kita ambil pelajaran dari matahari. Dan pelajaran itu juga berasal dari Alkitab. “Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.” (Mat. 5:45). Matahari diciptakan Tuhan bagi semua manusia. Dengan demikian, ketika kita belajar pada matahari, maka kebaikan kita ataupun kasih kita sudah seharusnya kita bagikan pada semua orang.
Di ayat selanjutnya, Tuhan Yesus mengatakan, agar kita tidak hanya mengasihi orang yang mengasihi kita, ataupun memberi salam hanya pada saudara-saudara kita. Karena orang lain juga melakukan hal yang sama. Karena itu, kita hendaknya sempurna seperti Bapa, Sang pemberi matahari. Kasih kitapun harus kita bagikan kepada semua orang, baik yang jahat kepada kita, maupun yang baik kepada kita. Sebab jika tidak demikian, kita telah melanggar Firman Allah. Yakobus berkata “Jadi, jika seseorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berbuat dosa!” (Yak. 4:17). Itu merupakan kewajiban bagi setiap orang yang percaya, orang yang telah diangkat dari kegelapan dan dipindahkan ke dalam terang. Oleh karena itu, mari kita bersinar seperti matahari!
When your morning is right, your day is bright
Motto yang pernah saya baca ini mengandung satu kebenaran indah yang perlu dipahami dan dilakukan oleh seorang yang sudah dilahirkan kembali. Jika kita memulai pagi kita dengan benar, hari kita akan bersinar.
Ada sebuah kisah; Ada seorang karyawan lapangan yang lupa untuk memulai harinya dengan benar seperti yang biasa dia lakukan selama ini. Dia lupa untuk memulai harinya dengan bersaat teduh bersama Tuhan pada pagi itu. Hari itu dia harus mendatangi banyak tempat untuk melakukan tagihan sebagaimana pekerjaan yang dilakukannya di mana dia bekerja pada sebuah perusahaan perkreditan barang. Namun hari itu tidak satu tagihanpun yang dia dapatkan. Beragam keadaan dan kejadian yang ditemuinya. Ada pelanggan yang sedang ke luar kota, ada yang sedang sakit, bahkan ada yang menutup tokonya karena salah satu anggota keluarganya meninggal dunia. Kemudian saat karyawan itu pulang ke rumah, seperti biasa dia memberi makan kedua anjingnya. Saat dia berdiri dari posisinya yang tadi berjongkok, kepalanya membentur kentongan yang ada di depan rumahnya. Segera dengan kesal dia menendang kedua anjing itu! “Gara-gara kalian kepala saya benjol!” gerutunya.
Benarkah anjing tersebut yang telah membuatnya terbentur kentongan itu? Sebenarnya kejengkelannya karena gagal membuatnya menjadi tidak cermat. Apakah kejadian yang dialami karyawan penagihan tersebut hanyalah kebetulan belaka? Atau apakah karena dia lupa memulai harinya dengan bersaat teduh? Saya pikir tidaklah demikian jawabannya. Seandainya dia bersaat teduh pagi sebelum dia memulai aktivitasnya, apakah tagihannya akan berjalan dengan lancar? Belum tentu juga! Lalu kenapa dong? Sebenarnya kejadian yang akan dialaminya mungkin saja sama, tetapi yang akan berbeda adalah reaksi dirinya terhadap peristiwa itu. Jika dia telah memulai harinnya bersama Tuhan, maka saat tagihannya tidak lancar, pasti ia tetap dapat mengucap syukur dan melakukan tugas-tugas yang lain dengan hati yang tenang. Oleh karena itu, biasakanlah dirimu untuk memulai harimu dengan benar, maka niscaya harimu akan bersinar. Bahkan, seperti matahari!
Hidupku bukannya aku lagi
“Hidupku, bukannya aku lagi, tapi Yesus yang hidup di dalam aku…” demikian syair sebuah lagu. Rasul Paulus juga menyatakan dengan tegas, “Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.” (Gal. 2:20).
Apa yang dimaksud oleh Paulus di sini merupakan sebuah bukti dari murid Kristus yang sejati. Ketika seseorang telah berada di posisi orang percaya, maka harus ada sebuah perubahan hidup. Manusia lama harus segera ditanggalkan, kemudian dengan segera mengenakan manusia baru karena Kristus telah berdiam di dalam hati, bahkan sebenarnya Dia telah menjadikan hati kita menjadi rumah-Nya. Bagaimana mungkin Dia yang kudus, tinggal di dalam hati kita, tetapi kita sendiri tidak menjaga kekudusan diri kita? Tentu Roh Kudus yang di dalam hati kita akan berduka ketika dilihat-Nya kita tidak menjaga kekudusan. Seperti Firman Tuhan berkata, “Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.” Karena sesungguhnya, kita bukanlah yang dulu lagi.
[Tumbur Lumban Raja, Buletin Rajawali/1/Sep-Okt 2006]
Recent Comments